Senin, 12 Agustus 2013

RESENSI BUKU CERITA REMAJA: Lentera Kelam Tiga Puluh Februari

Tulisan di bawah ini diambil dari laman Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Berupa resensi buku cerita remaja Lentera Kelam Tiga Puluh Februari. Buku yang memuat 15 naskah terbaik dari Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) 2011.  Sudah usang memang. Admin bagikan di laman ini agar: 1. yang belum pernah baca bisa membacanya di laman ini; 2. alih-alih sebagai bahan bacaan di masa liburan hari raya, sekaligus menikmati karya sastra remaja-remaja hebat; 3. sebagai bahan pembelajaran dan referensi siswa yang sedang belajar menulis cerpen atau sastra karena cerpen yang dimuat merupakan naskah terbaik  peserta LMCR 2011; 4. melengkapi koleksi ebook atau e-library, barangkali suatu saat diperlukan untuk bahan tugas pelajaran Bahasa Indonesia membuat resensi cerpen, hehhehe... :)

Tanpa perlu menunggu terlalu lama silakan baca dahulu resensi buku oleh Billy Antoro di bagian awal. Selanjutnya buku dalam format pdf berjudul Lentera Kelam Tiga Puluh Februari dapat diunduh di bawah. Selamat menikmati. Ciao!



Bermain dan Berimajinasi dalam Bingkai Kejujuran

Dunia remaja adalah dunia yang penuh warna. Ketika imajinasi diberikan wadahnya berupa ruang kepenulisan fiksi, imajinasi itu menjadi liar, kokoh, indah, dan asyik untuk diikuti. Tokoh-tokoh yang bermain di dalamnya pun penuh petualangan dan lebih lincah ketika dibalut dengan alur cerita yang sulit ditebak. 

Itulah gambaran pintas tentang tema-teman cerpen yang ditulis oleh 15 cerpenis dalam buku berjudul Lentera Kelam Tiga Puluh Februari. Buku yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini memuat 15 naskah terbaik Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) 2011.   

Dalam cerpen berjudul sama dengan judul buku, Haryas Subyantara Wicaksana, sang penulis, sesungguhnya mengetengahkan cerpen dengan cerita yang sangat sederhana: kisah seorang siswa yang menemukan dompet gurunya. Batinnya bertarung: apakah harus mengambil uangnya untuk bayar ujian atau tidak. Kemudian, batinnya kembali berkecamuk karena kakaknya (Herman) memintanya untuk mengambil uang dalam dompet guna keperluan bayar ujian, bayar diktat, dan keperluan kakek. Yang membuat cerpen ini menarik, Haryas lincah menggunakan kata-kata puitis dalam menggambarkan konflik batinnya. 

Keliaran fantasi sangat terasa pada cerpen bertajuk Sepatu Balet dan Petualangan dalam Film. Ide ceritanya juga sangat sederhana: seorang anak yang yatim-piatu sejak lahir yang bertemu dengan kedua orangtuanya di dimensi lain.

Hankenina Deafinola, sang penulis, membuat latar (setting) ceritanya dengan begitu apik; tempat-tempatnya adalah salah satu bagian dari adegan film yang pernah dilihatnya. Ia memindahkan Emma Wright, tokoh utamanya, dari loteng kotor rumah bibinya ke pabrik coklat dalam film Charlie and the Choholate Factory. Emma pun berdialog dengan Charlie dan Willy Wonka, dua tokoh utama dalam film tersebut.

Dari pabrik coklat Willy Wonka, Emma berpindah ke lokasi turnamen Triwizard dalam film Harry Potter and the Goblet of Fire. Ia harus menghadapi seekor naga untuk mengambil telur emas. Lalu dari dunia penyihir itu Emma berpindah ke film yang belum jadi.

Robbie, lelaki kurus berjenggot putih dengan telinga seperti kelinci di atas kepala, satu-satunya tokoh yang sudah jadi dalam film itu, memberinya petunjuk agar menemukan sepasang sepatu balet di dalam kastil—sepatu balet merupakan alat penulis untuk memungkinkannya berpindah latar. Ada kalimat menarik yang dikatakan Robbie, “Buatlah petualanganmu sendiri agar film ini bisa jadi. Kau bisa jadi pemeran, penulis skenario, sekaligus produser dalam film ini.” (Hal. 21). Di kastil itulah kemudian Emma bertemu dengan ayah-ibunya yang telah lama tiada.

Sastrawan Agus R. Sarjono, penulis kata pengantar buku ini, menulis, ia kaget melihat kepiawaian para penulis cerpen dalam mengolah cerita. Terlebih tema cerpen sudah ditentukan, yaitu ‘Kejujuran’. Cerpen-cerpen mereka tak terpuruk ke dalam lembah nasihat dan penuh pesan moral menjenuhkan. 

Agus R. Sarjono juga menulis, dengan kemampuan demikian, mereka telah berhasil masuk ke dalam moral terpenting dari sastra dan cerita: “bermain, berimajinasi, bertualang ke berbagai kemungkinan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, lantas mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu sejujur dan sebisanya.” (hal. iv).  

Kelima belas cerpen terbaik ini ditulis oleh siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari berbagai daerah di Indonesia. Yang menambah menarik, di akhir tiap cerpen dicantumkan latar belakang penulis dan bagaimana mereka mendapatkan ide dari cerpen yang dibuat. Buku ini sangat layak jadi bahan bacaan yang menghibur bagi siswa-siswi, guru, pencinta sastra, dan masyarakat umum.* (Billy Antoro)   



















Unduh isi buku, silakan klik di sini.





0 komentar:

Posting Komentar

DID YOU KNOW?

Visit Yogyakarta / Jogja